students, announcement, communication, asia, demonstration, girl, loudspeaker, megaphone, young, boys, loud, noise, speaking, loudness, volume, communication, communication, communication, communication, communication, megaphone, loud, noise, noise, speaking

Komunikasi Tanpa Melukai dalam Keluarga

Oleh:  Asri Juli

(Penulis adalah seorang Magister Pendidikan Bahasa yang aktif sebagai pengelola PAUD dan Pengajar homeschooling. Aktivis TBM. Asesor BAN PAUD PNF)

 

Inti dari pengasuhan anak adalah komunikasi. Komunikasi antara orang tua dan anak memegang peranan utama dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Orang tua pada umumnya lebih senang memastikan anak-anak menjadi anak yang penurut. Masalahnya adalah anak-anak bukanlah robot yang mampu menuruti semua perkataan orang tuanya setiap saat. Mereka adalah manusia-manusia yang memiliki kehendak dan emosinya sendiri. Tentu tidak mudah bagi orang tua mengatur mereka untuk bisa mendengarkan dan menuruti setiap perintah orang tua.

Saat orang tua mencoba menyuruh anak untuk melakukan sesuatu atau melarang melakukan sesuatu yang terjadi adalah konflik. Tidak jarang konflik yang terjadi menyebabkan kekerasan baik secara verbal maupun secara fisik. Hal ini cukup menggambarkan bagaimana komunikasi yang terjalin dalam keluarga menemukan permasalahan.

Komunikasi dalam keluarga biasanya tidak dianggap sebagai sebuah elemen penting dalam keluarga. Komunikasi seringkali dibiarkan berjalan secara alamiah. Padahal, dalam membentuk keluarga yang harmonis komunikasi perlu direncanakan dan direkayasa. Tentu saja bukan berarti kita mengada-ada dalam berkomunikasi. Maksudnya adalah komunikasi dalam keluarga perlu ditata dan diupayakan agar tidak meninggalkan luka pada siapapun dalam keluarga terutama anak-anak.

Dalam merencanakan komunikasi, orang tua memegang peranan sebagai sutradara yang bertugas menciptakan tata cara komunikasi yang baik dan juga lingkungan yang mendukung komunikasi itu berjalan lancar. Dalam menunjang kebutuhan ini, seorang sutradara memerlukan sentuhan ‘seni’ untuk membangun komunikasi yang estetis dalam keluarga.

Sebagai orang tua kita seringkali berbicara dengan anak dalam keadaan perasaan yang kacau sehingga yang keluar dari mulut kita adalah serangan-serangan verbal yang mengacaukan perasaan anak. Begitu pula dengan anak, sebagai respon dari sikap kita kepada mereka baik respon langsung ataupun tak langsung, mereka mencoba mengacaukan perasaan kita melalui mulut mereka. Dan siklus itu terus berulang sampai keluarga tidak mampu saling mengungkapkan cinta.

Jika hal ini tidak segera diatasi maka mustahil rasanya keinginan orang tua menciptakan anak yang mampu memahami dan mendengar nasihat orang tua. Sementara orang tua terus menuntut seorang anak menjadi penurut tapi di sisi lain orang tua terus mencontohkan anak untuk menjadi pembangkang.

Kekhawatiran dan kasih sayang kita seringkali tercurah dalam bentuk komunikasi yang salah. Saat anak kita berjalan di trotoar dan dia hampir tertabrak kendaraan yang kita lakukan adalah menarik lengannya dengan keras lalu mengomelinya di depan pejalan kaki lainnya. Atau saat kita mencoba mengingatkan mereka untuk berhati-hati agar tidak jatuh saat bermain dan dia terjatuh yang kita lakukan adalah terus mengomelinya bahkan mencubit lengannya. Inilah saat dimana semua luka itu tertimbun dalam batin anak.

Maka dari itulah diperlukan seni dalam berkomunikasi. Seni selalu berkaitan dengan keindahan. Apa yang kita harapkan dari seni dalam komunikasi adalah keindahan yang menghasilkan kebahagiaan  dalam keluarga. Dan kebahagiaan itu akan terjalin jika sesama anggota keluarga tidak saling menanamkan luka.

 

Komunikasi tanpa melukai

Dalam menciptakan bangunan komunikasi keluarga yang estetis, orang tua perlu menetapkan fondasi kesadaran. Artinya, untuk mengawali komunikasi yang baik dalam keluarga harus ada perubahan cara berpikir (kesadaran) dalam berkomunikasi. Dalam buku “Seni Berbicara pada Anak”, Joana Faber dan Julie King menyatakan bahwa:

Intinya adalah kita tidak dapat bersikap baik saat perasaan kurang baik. Demikian pula anak-anak. Mereka tidak dapat bersikap baik saat perasaannya tidak baik. Jika kita tidak lebih dulu peduli pada perasaan mereka, kesempatan kita untuk mengajaknya bekerja sama akan semakin sedikit.

Kesadaran akan pentingnya mengakui sebuah perasaan sebelum memulai komunikasi adalah landasan utama menciptakan bangunan komunikasi keluarga yang baik. Kita tidak akan mampu membangun komunikasi dengan baik tanpa memiliki empati. Mengakui perasaan orang lain adalah cara terbaik untuk bisa didengarkan oleh lawan bicara kita,

Misalnya saja begini, suatu hari kita datang ke kantor dengan perasaan yang sangat buruk. Sulit menyembunyikan ekspresi kita pada teman-teman di kantor kita karena berbagai persoalan menumpuk di kepala kita dan menyakiti hati kita, lalu tiba-tiba seorang teman menengur dengan bahasa yang keras seperti “hei, apa ga bisa ga usah bawa-bawa masalah di rumahmu ke kantor, kamu merusak mood semua orang !” atau teman yang ingin terlihat bijak berkata “ apa kamu punya masalah di rumahmu? Apa suamimu berbuat hal menyebalkan?”. Kira-kira apa yang kita rasakan dalam menghadapi teman-teman kita yang seperti ini.

Bandingkan jika seorang teman dekat kita menghampiri dan berkata “Rasanya sangat menyebalkan harus bekerja saat kepala kita penuh masalah. Sepertinya lebih kita pergi karaoke saja”. Nampaknya teman dekat kita lebih memahami bagaimana menghadapi kegundahan kita daripada teman yang sinis atau teman sok perhatian.

Anak-anak juga tidak berbeda. Mereka juga membutuhkan pengakuan terhadap emosi/perasaan mereka. Jika kita tidak berupaya untuk mengakui perasaan mereka dan mendukung emosi mereka maka nyaris tidak ada kesempatan untuk didengarkan.

Mendukung emosi atau mengakui perasaan bukan berarti kita membenarkan mereka saat mereka berbuat ceroboh atau bersalah tapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah upaya memahami perasaannya dan mencoba mendengarkannya lebih dahulu. Sebuah tindakan yang lebih hati-hati daripada tergesa-gesa menghakiminya. Dengan terlebih dahulu mendengarkannya maka akan lebih mudah bagi kita memberikan nasihat. Tapi bagaimana agar nasihat bisa bermakna dan diterima tanpa luka? Ada berbagai cara tersendiri yang akan membuat bangunan komunikasi keluarga semakin estetis yang akan dibahas dalam artikel selanjutnya.

1 thought on “Komunikasi Tanpa Melukai dalam Keluarga”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *